Baca
Readers Digest Indonesia edisi Januari 2013, di halaman HUMOR SPESIAL 20
HALAMAN LOL!! (yang memuat Curcol Kantornya Anjar Oktaviani, Haihei Cumi ;),
juga cerita humornya Kiki Kristiani, sodaraan nggak ya dengan mbak Dian
Kristiani :P), aku ingat jaman-jaman sopir yang membawaku ngelabuin polisi 2-3
taon yang lalu, pas kami lagi otw di Surabaya… Maaph ya pak policiiii :* ,ehh?
:D
Ceritanya,
aku berdua temen baru aja dari Basuki Rahmad Surabaya, mau balik kearah kantor
di bilangan Pasuruan sono. Waktu itu kami duduk di jok tengah. Naluri wanitalah:
kita lagi bercerita, asyik ngegosip, dan sibuk komentarin papan-papan iklan
gadget baru di sepanjang jalanan. Yaah, daripada bikin ribet pak driver yang
sedang bekerja…herrrr tuk tik tak tik tuk, suara ban Innova!
Untuk
masuk tol Kota Satelit-Darmo, pak sopir ambil posisi lajur kanan, mau nyerong
motong Raya Darmo dan masuk kearah jalan Polisi Istimewa.
Tiba-tiba…
Entah lagi apes, ato apa… PRITTTTTTTTTTT!! Peluit panjang melengking menjerit
mengiringi mobil kami yang meluncur hampir mencapai depan Konsulat Amerika.
Secara
bersama-sama, bagai di film-film drama, dengan gerakan slow motion, aku berdua
temanku menengok ke belakang mobil. Dari kejauhan, seorang bapak polisi
berbadan ndut dan berperut gembul nyebrang jalan menuju mobil
kami yang telah menepi dan teronggrok dengan gemulainya.
“Ada
apa? Ada apa, pak?” Tanyaku gugup ke pak sopir. Ini yang harusnya gugup kan pak
sopir? Kenapa aku ikut-ikutan senewen?
“Polisinya
naksir Innova ini, kali…” gumam temanku. Iya, masuk akal sih! Plat mobil yang
kami tumpangin N. Biasanya mobil luar kota begini, jadi kecengan asyik buat polisi-polisi. Kan kita berasal
dari desa? Gagap kota! Gampang nggak mudeng dengan rambu-rambu lalin yang ada.
Nggak hapal, karena jarang melewati. Nggak kenal juga dengan pak polisi-polisi
yang bertugas. Tak kenal maka abang
nggak sayang. KATANYA.
“Kenapa
ya, pak?”
“Tadi
lampunya masih hijau , kok…” jawab pak driver sekilas, sebelum keluar dari
mobil. Nggak lupa dia meraih STNK dari dashboard, sebelum beranjak pergi.
“Waduh,
ditilang nih, pak,” prediksiku kacau.
“Berapa
ya kalo nembak di Surabaya gini?”
Aku
mengangkat bahu. Kalo nembak, memang kita bawa senapan angin?
Dari
dalam mobil, kami perhatikan pak Wanmen-nama sopir kantor- menunduk-nunduk
takzim bak orang Jepang menghormati orang lokal. Tangannya lantas mengangsurkan
surat kelengkapan. Si polisi serius memeriksa SIM dan STNK. Mereka terlihat terlibat
percakapan serius. Hanya sebentar. Lalu si polisi menyerahkan SIM dan STNK ke
pak Wanmen kembali. Lantas polisinya beranjak pergi. Pak Wanmen sendiri balik kearah
mobil.
Aneh!
Kok nggak ada penyerahan surat tilang seperti di film-film? Bukannya tadi pak Wanmen juga nggak
terlihat menyerahkan sepeserpun uang? Kok hilang scene itu? Apa scriptnya
kelewatan? Halah!
“Bayar
berapa, pak?” Tanya kami hampir bersamaan begitu pak Wanmen masuk kembali ke
mobil.
“Nggak
bayar, mbak.”
“Lhah,
kok bisa? Pilih tilang kah, pak?” tanyaku heran.
“Nggak,
mbak. Sama dia saya disuruh pergi gitu aja.”
“Enak
banget?” seru temanku,” Kok bisa? Ini nggak wajar ini…”
“Memang
dibilangin apa sama pak Wanmen polisinya?”
Pak Wanmen
malah meringis. Untung giginya nggak gigis.
“Saya
bilang: Maaf pak, saya pikir tadi masih hijau lampunya. Jadi saya langsung
belok. Taunya sudah berubah kuning. Maaf ya pak, Saya buru-buru ini. Mau
ngantar ibu di Shangri-La. Bapak lagi
ada acara, ditunggu di sana sama beliau…”
JIAHHHHHHHH!!
BWAHAHAHAHA.
Aku
berdua temanku ngakak bareng. Gila, jenius juga ide pak Wanmen, nih! Pemain
watak yang hebat. Coba aja ada Hanung Brahmantyo lagi lihat. Bisa jadi main di
filmnya mendatang.
“Waahhh,
begini rasanya jadi ibu-ibu pejabat yaaa... Hahaha…!” Temanku ketawa nggak
berenti,”Tapi…” dia mencowel pipinya,”aku… Aku kan masih ABG gini? Huaaaaa…”
tawanya lalu berubah jadi tangisan pilu cetar membahana.