Friday, September 20, 2013



Judul Buku      :           I'M (NOT)PERFECT
Penulis             :           Dian Kristiani
Halaman          :           xi + 153 halaman
Penerbit           :           PT. GPU
Tahun Terbit    :           April  2013

WALAUPUN TIDAK SEMPURNA, PEREMPUAN TETAP BISA BAHAGIA

Sekilas melihat cover buku ini, dapat dipastikan  yang dikupas adalah masalah perempuan. Selain menampilkan sesosok perempuan, terdapat juga  ‘stempel’ pink bertuliskan 1001 curhat seru nan kocak tentang mengapa perempuan harus lebih menyintai diri sendiri dan menghargai orang lain.

Kalau diibaratkan selebritis, perempuan memang tak ubahnya seperti artis. Bagaikan seorang public figure di dunia hiburan, ada saja yang berkomentar tentang segala apa yang dialami dan dilakukan oleh perempuan. Sayangnya, seringkali komentar yang muncul, lebih banyak negatifnya dibanding sisi positif ‘si korban’. Mirisnya lagi, komentar ‘miring’ justru disampaikan oleh sesama perempuan juga. Mungkin,  karena itulah muncul  istilah: lidah memang tak bertulang.

Karena lidah lentur tersebut, seolah sah-sah saja ketika perempuan berkali-kali membuat pertanyaan dan pernyataan yang menyudutkan, yang hampir selalu beresiko membuat terpuruk hati  perempuan lainnya. 

Buku setebal 153 halaman ini berisi 28 curhatan ala Dian Kristiani yang sudah menulis lebih dari 70 judul buku dari berbagai penerbit besar. Cerita tentang permasalahan perempuan, yang dihimpun dari kisah keseharian penulis, diceritakan dengan gamblang, apa adanya serta tanpa tedeng aling-aling lagi. Gaya bahasa yang mengalir ringan dan cerita tentang problem sehari-hari membuat buku ini bagai ‘diary’ kita sendiri, karena tulisan yang disajikan terasa lekat dengan kehidupan kita. Walaupun tak semua pernah kita alami, minimal salah satu atau duanya, pernah mampir dalam kehidupan kita. Bisa jadi kita alami sendiri, atau orang-orang disekitar kita.

Disadari atau tidak, terkadang, kita (perempuan), suka mencela teman perempuan kita, mencurigai pasangan hidup yang telah kita pilih, memandang mertua secara negatif, atau dengan mudah men-judge perempuan yang berpredikat janda. Sering juga kita menduga-duga perempuan yang tak bisa melahirkan normal pasti karena mau enaknya.

Di halaman 7, pada tulisan berjudul: Melahirkan Kok Pakai Operasi? Tercantum penilaian sepihak : 

“Nggak bisa disebut Ibu kalau nggak melahirkan lewat bawah!” 

Rasanya sedih tak berkesudahan mendengar komentar pedas begitu. Menghakimi tanpa mengerti alasan dibalik sebuah keputusan, sungguh tak adil. Untuk melahirkan normal maupun terpaksa harus diambil tindakan Caesar, tidak sepenuhnya kehendak seorang perempuan. Walaupun sudah direncanakan dengan matang ingin persalinan tanpa operasi, tapi kalau Tuhan berkehendak lain, apakah kita harus tetap ngeyel melaksanakan mau kita? Tentu, banyak pertimbangan yang melatarbelakangi ketika perempuan harus terpaksa menjalani persalinan tak normal. Dan apakah penting buat kita, -seandainya itu terjadi pada kita, menceritakan pada semua orang tentang kesulitan yang kita hadapi sehingga harus melakukan caesar? Lantas, ketika terpaksa sudah menjalaninya, bukan berarti  perempuan tak pantas mendapat sebutan Ibu, bukan?

Kejadian berlanjut ketika ternyata si baby lebih mengenal susu formula, lantaran ASI si Bunda  tetap tidak bisa keluar, walaupun sudah dicoba dengan berbagai cara. Kembali penilaian sepihak, gunjingan dan komentar-komentar barupun  bermunculan lagi. Betapa melelahkannya kalau kita layani dan tanggapi satu persatu  omongan-omongan itu?

Padahal ingat: “ There  are 1.000 ways to be a good mother. Breastfeeding is one, if you failed on this, there are still 999 ways. Go grab the other ways to be the best mother for your baby.” (halaman 22).

Lewat buku ini juga tersuarakan bahwa walaupun tidak sempurna, perempuan tetap bisa merasakan kebahagiaan. Resepnya, tak perlu pusing memikirkan penilaian orang lain terhadap diri kita. Jadikan diri kita -dalam melangkah, menyikapi sesuatu, dan menjalani kehidupan kita- seperti mau kita. Terkesan egois memang. Alasannya, karena diri kita milik kita sendiri. Oleh sebab itu, kita paham mana yang cocok, pantas dan sesuai buat kita. Jangan memaksa mengubah diri untuk menjadi sempurna demi memenuhi dan menuruti standart dan kriteria  sempurna versi orang yang mengomentari kita. 

Mendengarkan masukan, komentar, atau nasehat orang,  sah-sah saja. Tapi tidak lantas kita melaksanakan total seperti yang mereka kemukakan. Pilih yang sesuai, menerima yang masuk akal dan tidak perlu kita menjalaninya menurut kacamata mereka.

Apa yang terjadi pada orang lain, itu sepenuhnya pilihan yang telah mereka pilih, dengan segala paket kelebihan dan keuntungan yang bakal mereka tanggung sendiri. Hormati dan hargai, jangan malah dihakimi.
Disetiap akhir cerita yang Dian Kristiani tulis, hampir selalu terselip nasehat, ajakan untuk menghargai orang lain, nilai inspiratif dan pencerahan buat kita untuk menyikapi semua permasalahan yang terjadi. Tidak harus dan patut kita tiru pola pikir yang dijabarkan. Karena yang sesuai dengan penulis, belum tentu cocok diterapkan pada kita. Tanpa bermaksud menggurui, tidak harus juga dituruti. Tapi, banyak hal yang dijabarkan mendekati skala realitas yang ada. Dalam melihat segala permasalahan, hendaknya dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Terkadang, di akhir cerita selalu ada renungan buat kita yang membaca. Membuka mata dan hati kita untuk lebih bersikap bijaksana.

Buku yang cetakan pertamanya dipasarkan tepat sehari setelah peringatan Hari Kartini ini, secara tak langsung diakui, Dian Kristiani ingin mengajak perempuan untuk berdamai dengan diri sendiri dan sesama perempuan lainnya.

Tuesday, May 14, 2013

WTS - Warung Tengah Sawah


Kemaren, 11 May 2013, setelah liburan 2 hari dengan aman dan damai, pagi-pagi aku ditodong orang-orang maksi keluar kantor.
“Okaylahhhhh!” Jawabku ga pake lama.
“Ke mana nih kita?”
“Terserah!”  Responku cepat. “Lo jual, gw beli, hihihi…”
Sebenarnya, ada beberapa alternative tempat maksi deket kantor. Pertama, Warung Padang Sederhana. Tapi, aku sang penyandang dana ‘ehm!’, dengan serta merta menolak. Bukan aku anti makanan suku Minang itu. Alasan utamanya, paling yang bisa ku santap hanya sambel ijo, daun singkong dan ‘segigitan nyamuk’ kikilnya yang asoy geboy itu. Lhah, lainnya? Tidakkkkk! Sebabnya, aku jaga tubuhku bener-bener buat ga kolesterolan. Cukuplah penyakit itu diderita oleh temen-temenku. Aku ga mau ikut-ikutan.
Kalau mau milih, sejujurnya aku lagi pengen Nasi Campurnya Janur Kuning, sih. Di ruko Lawang sana.
“Yeyy, rugi aja kalo kamu yang bayarin, trus kita makannya di Janur Kuning!” Celetuk cepet salah seorang teman.
Jiahhhh, ga mau rugi beneran nih predator-predator ini.
“Mang Engking, Mang Engking!” Seru temen lain yang kemarin bangkrut ditodong ke rumah makan tersebut. Untuk 25 orang, dia abisin 2,5 juta bok!
“Ogah!!!” Seruku cepat. Suasananya memang keren. Di tengah-tengah sawah gitu. Diiringi tiupan semilir angin gunung Welirang disiang yang garang. Tapi ternyata, suasana ‘mahal’ itu berbanding lurus dengan harga-harganya. Sementara yang aku suka disana cuma udang madunya semata. Coret!!!
“Parahyangan, ya?”  Seorang teman memberi usul,”Ato Cianjur?”
“Okay, Cianjur!” Jawabku tepat ketika mobil yang kami tumpangi meninggalkan lobby. Cianjur mahal sih, jaraknya dari kantor juga 35 menitan, tapi kan tar dapet diskon 10% pas bill keluar *teteup itung itungan matematis donk*. Hehehe.
“Woiiii, Cianjur yaaaaaa!” Tereak temanku yang duduk di tengah, ke mobil Rush dan Yaris yang sudah teronggok nungguin di depan security.
Pas keluar meninggalkan jembatan depan perusahaan, mas tarsan yang tadi tereak-tereak tiba-tiba bilang,”Eh, nyobain WTS yukkkk!”
“Oh ya ya yukkk!” Timpal ibu yang biasa ‘ngedate’ bareng dengan orang-orang BC kesana.”Gimana?” Dia menoleh ke arahku.
“Yuk, yukk!!” Jawabku antusias. Apalagi, kemarin ada temen yang cerita dia habis dari sana sama genk DPRD. Katanya, sambel trasinya tuh mantap abis. Udang gorengnya yang guide-guede katanya bener-bener haujek soro pas dicocolin sambel. Apalagi tempatnya ditengah sawah. Eh, mirip Mang Engking dong? Trus ada kolam ikannya juga, yang ikannya tuh kalau dilemparin apaaaa aja pasti diemploknya. Kok kayak Parahyangan? Penasaran deh. Lebih-lebih, bawa orang 19 bok kali ini, pasti duit yang dikeluarin juaohhh lebih irit. Haghaghag.
Innova yang kami tumpangin, akhirnya minggir di depan Indolakto. Dua mobil lainnyapun ngikutin parkir ke atas sungai yang sekarang sudah disulap jadi jalan raya itu. Indolakto memang hebat.
“Berubah tujuan bozz. Kita ke WTS. Ikutin aja mobil ini ya!” Seruku melongok lewat jendela ke mobil Rush di belakang.
Akhirnya, tanpa banyak cingcong, kamipun kembali melaju. Melewati padatnya arus Surabaya – Malang, pada Sabtu siang begini, sungguh sesuatunya Syahroni. Panas juga sih, tapi yang cetar itu justru perut kami-kami ini tengah jamnya minta diisi. Rasanya, pengen aja makan yang ada didepan mata. Tapi dimobil ga ada apa-apa yang layak dijadiin pengganjal  perut. Bawaannya jadi pengen marah aja.
Keluar Purwosari, menelusuri ramenya lalin Sukorejo, lalu Pandaan, eitsss kok ga nyampe-nyampe juga, sihhh?? Mana naga-naga di perut rasanya makin brutal pada demo. Ga nahan liat sesuatu yang genting, si ibu sebelahpun menelepon pemilik warung untuk nyiapin menu lebih awal. Supaya waktu  kita sampe, makanan sudah siap buat disikat.
“Udang goreng, lele goreng, patin juga. Eh, botoknya bandeng dan patin ya! Jangan lupa gurami dan tahu serta tempe goreng, mba! Okay, terima kasih,” pesannya lalu menutup telepon.
Jangan ditanya perut kami pas mendengar, makin terasa simpony alamnya. Bolak balik harus lap iler yang terasa mau jatoh. Takut aja kalo sampe netes ke jok mobil.
Pas melewati Pandaan, mobil malah terus melaju ke utara menuju Apolo. Biyuuuh, ini kan jalan menuju pulang, ya! Coba tadi sekalian matiin PC, lalu bawa tas sekalian. Runtukku dalam hati.
“Masih lama kahhhhhhh?” Ada suara dari jok belakang,”Laperrrrrr.”
Sementara BB tang tung tang tung dari member mobil di belakang, nanya kapan nih sampainya? Jauh amat nyari makan aja. Apa ga sekalian nyari sup Janda di Bekasi sana? Bolak balik bbm masuk.
Aku juga laper, tauk! Perut laper memang membuat orang gampang kesulut emosinya. Daripada terjadi huru hara. Aku coba mejamin mata. Berdoa dalam diam. Semoga jalanan lancar.
Dan, setelah menempuh perjalanan yang hampir 1 jam, penderitaan kami berakhir juga. Konvoi kamipun tiba di disebuah warung yang sangattttt sederhana, jauh dari kesan mewah. Warung tanpa bilik itu, masaknya pake kayu. Tungkunya ada 2 dengan nyala api yang berkobar-kobar ngasilin asap yang pedih plus bauk sangit dimana-mana. Sementara, sejauh mata memandang ga tersedia saung or gazebo selayaknya resto Sunda. Cuma ada meja dan bangku bamboo panjang ala desa. Warung dipingir jalan kecil itu diberi nama WTS a.k.a Warung Tengah Sawah mba IKA. Tempat makan yang jauhnya mirip tempat pembuangan anak jin.
Walopun sedikit pasrah melihat kenyataan yang terpampang, legah rasanya karena udah sampe. Kami lalu sujud syukur berjamaah. Tapi, nasib baik ternyata belum berpihak sepenuhnya. Ternyata, kami masih harus menunggu proses masak yang belum sepenuhnya selesai.
“Owwwh, Tuhan!” Jerit kami lebay bebarengan.
Tik… Tik… Tik… Detik demi detik merambat, berubah ke menit demi menit.
Tepat 15 menit menunggu, mbak-mbaknya nyodorin udang goreng  dengan panas mengepul dan bau yang meluluhlantakkan jiwa raga.
Akhirnya, tidak ada penantian yang tak ada akhirnya. Seperti menunggu akhir bulan datang untuk gajian, makanan yang kami pesanpun sudah siap dihidangkan. Piring, mana piring? Bagai orang kesetanan, kami rebutan piring.
Owh, betapa nikmatnya makan pada saat kelaparan begini. Sekalipun di warung yang jauh dari kesan mewah sama sekali.

Thursday, February 07, 2013

Ibu Pejabat??



Baca Readers Digest Indonesia edisi Januari 2013, di halaman HUMOR SPESIAL 20 HALAMAN LOL!! (yang memuat Curcol Kantornya Anjar Oktaviani, Haihei Cumi ;), juga cerita humornya Kiki Kristiani, sodaraan nggak ya dengan mbak Dian Kristiani :P), aku ingat jaman-jaman sopir yang membawaku ngelabuin polisi 2-3 taon yang lalu, pas kami lagi otw di Surabaya… Maaph ya pak policiiii :* ,ehh? :D

Ceritanya, aku berdua temen baru aja dari Basuki Rahmad Surabaya, mau balik kearah kantor di bilangan Pasuruan sono. Waktu itu kami duduk di jok tengah. Naluri wanitalah: kita lagi bercerita, asyik ngegosip, dan sibuk komentarin papan-papan iklan gadget baru di sepanjang jalanan. Yaah, daripada bikin ribet pak driver yang sedang bekerja…herrrr tuk tik tak tik tuk, suara ban Innova!

Untuk masuk tol Kota Satelit-Darmo, pak sopir ambil posisi lajur kanan, mau nyerong motong Raya Darmo dan masuk kearah jalan Polisi Istimewa.

Tiba-tiba… Entah lagi apes, ato apa… PRITTTTTTTTTTT!! Peluit panjang melengking menjerit mengiringi mobil kami yang meluncur hampir mencapai depan Konsulat Amerika.

Secara bersama-sama, bagai di film-film drama, dengan gerakan slow motion, aku berdua temanku menengok ke belakang mobil. Dari kejauhan, seorang bapak polisi berbadan ndut dan berperut gembul nyebrang jalan  menuju  mobil kami yang telah menepi dan teronggrok dengan gemulainya.

“Ada apa? Ada apa, pak?” Tanyaku gugup ke pak sopir. Ini yang harusnya gugup kan pak sopir? Kenapa aku ikut-ikutan senewen?

“Polisinya naksir Innova ini, kali…” gumam temanku. Iya, masuk akal sih! Plat mobil yang kami tumpangin N. Biasanya mobil luar kota begini, jadi kecengan  asyik buat polisi-polisi. Kan kita berasal dari desa? Gagap kota! Gampang nggak mudeng dengan rambu-rambu lalin yang ada. Nggak hapal, karena jarang melewati. Nggak kenal juga dengan pak polisi-polisi yang bertugas. Tak kenal maka abang  nggak  sayang. KATANYA.

“Kenapa ya, pak?”

“Tadi lampunya masih hijau , kok…” jawab pak driver sekilas, sebelum keluar dari mobil. Nggak lupa dia meraih STNK dari dashboard,  sebelum beranjak pergi.

“Waduh, ditilang nih, pak,” prediksiku kacau.

“Berapa ya kalo nembak di Surabaya gini?”

Aku mengangkat bahu. Kalo nembak, memang kita bawa senapan angin?

Dari dalam mobil, kami perhatikan pak Wanmen-nama sopir kantor- menunduk-nunduk takzim bak orang Jepang menghormati orang lokal. Tangannya lantas mengangsurkan surat kelengkapan. Si polisi serius memeriksa SIM dan STNK. Mereka terlihat terlibat percakapan serius. Hanya sebentar. Lalu si polisi menyerahkan SIM dan STNK ke pak Wanmen kembali. Lantas polisinya beranjak pergi. Pak Wanmen sendiri balik kearah mobil.

Aneh! Kok nggak ada penyerahan surat tilang seperti di  film-film? Bukannya tadi pak Wanmen juga nggak terlihat menyerahkan sepeserpun uang? Kok hilang scene itu? Apa scriptnya kelewatan? Halah!

“Bayar berapa, pak?” Tanya kami hampir bersamaan begitu pak Wanmen masuk kembali ke mobil.

“Nggak bayar, mbak.”

“Lhah, kok bisa? Pilih tilang kah, pak?” tanyaku heran.

“Nggak, mbak. Sama dia saya disuruh pergi gitu aja.”

“Enak banget?” seru temanku,” Kok bisa? Ini nggak wajar ini…”

“Memang dibilangin apa sama pak Wanmen polisinya?”

Pak Wanmen malah meringis. Untung giginya nggak gigis.

“Saya bilang: Maaf pak, saya pikir tadi masih hijau lampunya. Jadi saya langsung belok. Taunya sudah berubah kuning. Maaf ya pak, Saya buru-buru ini. Mau ngantar  ibu di Shangri-La. Bapak lagi ada acara, ditunggu di sana sama beliau…”

JIAHHHHHHHH!!

BWAHAHAHAHA.

Aku berdua temanku ngakak bareng. Gila, jenius juga ide pak Wanmen, nih! Pemain watak yang hebat. Coba aja ada Hanung Brahmantyo lagi lihat. Bisa jadi main di filmnya mendatang.

“Waahhh, begini rasanya jadi ibu-ibu pejabat yaaa... Hahaha…!” Temanku ketawa nggak berenti,”Tapi…” dia mencowel pipinya,”aku… Aku kan masih ABG gini? Huaaaaa…” tawanya lalu berubah jadi tangisan pilu cetar  membahana.