Kemaren, 11
May 2013, setelah liburan 2 hari dengan aman dan damai, pagi-pagi aku ditodong
orang-orang maksi keluar kantor.
“Okaylahhhhh!”
Jawabku ga pake lama.
“Ke mana nih
kita?”
“Terserah!” Responku cepat. “Lo jual, gw beli, hihihi…”
Sebenarnya,
ada beberapa alternative tempat maksi deket kantor. Pertama, Warung Padang
Sederhana. Tapi, aku sang penyandang dana ‘ehm!’, dengan serta merta menolak. Bukan
aku anti makanan suku Minang itu. Alasan utamanya, paling yang bisa ku santap
hanya sambel ijo, daun singkong dan ‘segigitan nyamuk’ kikilnya yang asoy geboy
itu. Lhah, lainnya? Tidakkkkk! Sebabnya, aku jaga tubuhku bener-bener buat ga
kolesterolan. Cukuplah penyakit itu diderita oleh temen-temenku. Aku ga mau
ikut-ikutan.
Kalau mau
milih, sejujurnya aku lagi pengen Nasi Campurnya Janur Kuning, sih. Di ruko
Lawang sana.
“Yeyy, rugi
aja kalo kamu yang bayarin, trus kita makannya di Janur Kuning!” Celetuk cepet
salah seorang teman.
Jiahhhh, ga
mau rugi beneran nih predator-predator ini.
“Mang
Engking, Mang Engking!” Seru temen lain yang kemarin bangkrut ditodong ke rumah
makan tersebut. Untuk 25 orang, dia abisin 2,5 juta bok!
“Ogah!!!”
Seruku cepat. Suasananya memang keren. Di tengah-tengah sawah gitu. Diiringi
tiupan semilir angin gunung Welirang disiang yang garang. Tapi ternyata,
suasana ‘mahal’ itu berbanding lurus dengan harga-harganya. Sementara yang aku
suka disana cuma udang madunya semata. Coret!!!
“Parahyangan,
ya?” Seorang teman memberi usul,”Ato
Cianjur?”
“Okay,
Cianjur!” Jawabku tepat ketika mobil yang kami tumpangi meninggalkan lobby.
Cianjur mahal sih, jaraknya dari kantor juga 35 menitan, tapi kan tar dapet
diskon 10% pas bill keluar *teteup itung itungan matematis donk*. Hehehe.
“Woiiii,
Cianjur yaaaaaa!” Tereak temanku yang duduk di tengah, ke mobil Rush dan Yaris
yang sudah teronggok nungguin di depan security.
Pas keluar
meninggalkan jembatan depan perusahaan, mas tarsan yang tadi tereak-tereak
tiba-tiba bilang,”Eh, nyobain WTS yukkkk!”
“Oh ya ya
yukkk!” Timpal ibu yang biasa ‘ngedate’ bareng dengan orang-orang BC kesana.”Gimana?”
Dia menoleh ke arahku.
“Yuk, yukk!!”
Jawabku antusias. Apalagi, kemarin ada temen yang cerita dia habis dari sana
sama genk DPRD. Katanya, sambel trasinya tuh mantap abis. Udang gorengnya yang guide-guede
katanya bener-bener haujek soro pas dicocolin sambel. Apalagi tempatnya
ditengah sawah. Eh, mirip Mang Engking dong? Trus ada kolam ikannya juga, yang
ikannya tuh kalau dilemparin apaaaa aja pasti diemploknya. Kok kayak
Parahyangan? Penasaran deh. Lebih-lebih, bawa orang 19 bok kali ini, pasti duit
yang dikeluarin juaohhh lebih irit. Haghaghag.
Innova yang
kami tumpangin, akhirnya minggir di depan Indolakto. Dua mobil lainnyapun
ngikutin parkir ke atas sungai yang sekarang sudah disulap jadi jalan raya itu.
Indolakto memang hebat.
“Berubah
tujuan bozz. Kita ke WTS. Ikutin aja mobil ini ya!” Seruku melongok lewat
jendela ke mobil Rush di belakang.
Akhirnya,
tanpa banyak cingcong, kamipun kembali melaju. Melewati padatnya arus Surabaya –
Malang, pada Sabtu siang begini, sungguh sesuatunya Syahroni. Panas juga sih,
tapi yang cetar itu justru perut kami-kami ini tengah jamnya minta diisi.
Rasanya, pengen aja makan yang ada didepan mata. Tapi dimobil ga ada apa-apa
yang layak dijadiin pengganjal perut. Bawaannya
jadi pengen marah aja.
Keluar
Purwosari, menelusuri ramenya lalin Sukorejo, lalu Pandaan, eitsss kok ga
nyampe-nyampe juga, sihhh?? Mana naga-naga di perut rasanya makin brutal pada
demo. Ga nahan liat sesuatu yang genting, si ibu sebelahpun menelepon pemilik
warung untuk nyiapin menu lebih awal. Supaya waktu kita sampe, makanan sudah siap buat disikat.
“Udang
goreng, lele goreng, patin juga. Eh, botoknya bandeng dan patin ya! Jangan lupa
gurami dan tahu serta tempe goreng, mba! Okay, terima kasih,” pesannya lalu
menutup telepon.
Jangan ditanya
perut kami pas mendengar, makin terasa simpony alamnya. Bolak balik harus lap
iler yang terasa mau jatoh. Takut aja kalo sampe netes ke jok mobil.
Pas melewati
Pandaan, mobil malah terus melaju ke utara menuju Apolo. Biyuuuh, ini kan jalan
menuju pulang, ya! Coba tadi sekalian matiin PC, lalu bawa tas sekalian.
Runtukku dalam hati.
“Masih lama
kahhhhhhh?” Ada suara dari jok belakang,”Laperrrrrr.”
Sementara BB tang tung tang tung dari member mobil di
belakang, nanya kapan nih sampainya? Jauh amat nyari makan aja. Apa ga sekalian
nyari sup Janda di Bekasi sana? Bolak balik bbm masuk.
Aku juga
laper, tauk! Perut laper memang membuat orang gampang kesulut emosinya.
Daripada terjadi huru hara. Aku coba mejamin mata. Berdoa dalam diam. Semoga
jalanan lancar.
Dan, setelah
menempuh perjalanan yang hampir 1 jam, penderitaan kami berakhir juga. Konvoi
kamipun tiba di disebuah warung yang sangattttt sederhana, jauh dari kesan
mewah. Warung tanpa bilik itu, masaknya pake kayu. Tungkunya ada 2 dengan nyala
api yang berkobar-kobar ngasilin asap yang pedih plus bauk sangit dimana-mana.
Sementara, sejauh mata memandang ga tersedia saung or gazebo selayaknya resto
Sunda. Cuma ada meja dan bangku bamboo panjang ala desa. Warung dipingir jalan
kecil itu diberi nama WTS a.k.a Warung Tengah Sawah mba IKA. Tempat makan yang
jauhnya mirip tempat pembuangan anak jin.
Walopun
sedikit pasrah melihat kenyataan yang terpampang, legah rasanya karena udah
sampe. Kami lalu sujud syukur berjamaah. Tapi, nasib baik ternyata belum
berpihak sepenuhnya. Ternyata, kami masih harus menunggu proses masak yang
belum sepenuhnya selesai.
“Owwwh, Tuhan!”
Jerit kami lebay bebarengan.
Tik… Tik… Tik…
Detik demi detik merambat, berubah ke menit demi menit.
Tepat 15 menit
menunggu, mbak-mbaknya nyodorin udang goreng
dengan panas mengepul dan bau yang meluluhlantakkan jiwa raga.
Akhirnya,
tidak ada penantian yang tak ada akhirnya. Seperti menunggu akhir bulan datang
untuk gajian, makanan yang kami pesanpun sudah siap dihidangkan. Piring, mana
piring? Bagai orang kesetanan, kami rebutan piring.
Owh, betapa nikmatnya
makan pada saat kelaparan begini. Sekalipun di warung yang jauh dari kesan
mewah sama sekali.
No comments:
Post a Comment