Judul
Buku : I'M (NOT)PERFECT
Penulis : Dian
Kristiani
Halaman
: xi + 153 halaman
Penerbit : PT.
GPU
Tahun
Terbit : April 2013
WALAUPUN
TIDAK SEMPURNA, PEREMPUAN TETAP BISA BAHAGIA
Sekilas
melihat cover buku ini, dapat dipastikan yang dikupas adalah masalah perempuan. Selain
menampilkan sesosok perempuan, terdapat juga ‘stempel’ pink bertuliskan 1001 curhat seru
nan kocak tentang mengapa perempuan harus lebih menyintai diri sendiri dan
menghargai orang lain.
Kalau
diibaratkan selebritis, perempuan memang tak ubahnya seperti artis. Bagaikan seorang
public figure di dunia hiburan, ada
saja yang berkomentar tentang segala apa yang dialami dan dilakukan oleh
perempuan. Sayangnya, seringkali komentar yang muncul, lebih banyak negatifnya dibanding
sisi positif ‘si korban’. Mirisnya lagi, komentar ‘miring’ justru disampaikan
oleh sesama perempuan juga. Mungkin,
karena itulah muncul istilah:
lidah memang tak bertulang.
Karena
lidah lentur tersebut, seolah sah-sah saja ketika perempuan berkali-kali membuat
pertanyaan dan pernyataan yang menyudutkan, yang hampir selalu beresiko membuat
terpuruk hati perempuan lainnya.
Buku
setebal 153 halaman ini berisi 28 curhatan ala Dian Kristiani yang sudah
menulis lebih dari 70 judul buku dari berbagai penerbit besar. Cerita tentang
permasalahan perempuan, yang dihimpun dari kisah keseharian penulis, diceritakan
dengan gamblang, apa adanya serta tanpa tedeng aling-aling lagi. Gaya bahasa
yang mengalir ringan dan cerita tentang problem sehari-hari membuat buku ini bagai
‘diary’ kita sendiri, karena tulisan
yang disajikan terasa lekat dengan kehidupan kita. Walaupun tak semua pernah
kita alami, minimal salah satu atau duanya, pernah mampir dalam kehidupan kita.
Bisa jadi kita alami sendiri, atau orang-orang disekitar kita.
Disadari
atau tidak, terkadang, kita (perempuan), suka mencela teman perempuan kita,
mencurigai pasangan hidup yang telah kita pilih, memandang mertua secara negatif,
atau dengan mudah men-judge perempuan yang berpredikat janda. Sering juga kita
menduga-duga perempuan yang tak bisa melahirkan normal pasti karena mau
enaknya.
Di
halaman 7, pada tulisan berjudul: Melahirkan Kok Pakai Operasi? Tercantum
penilaian sepihak :
“Nggak bisa disebut Ibu kalau nggak
melahirkan lewat bawah!”
Rasanya
sedih tak berkesudahan mendengar komentar pedas begitu. Menghakimi tanpa
mengerti alasan dibalik sebuah keputusan, sungguh tak adil. Untuk melahirkan
normal maupun terpaksa harus diambil tindakan Caesar, tidak sepenuhnya kehendak
seorang perempuan. Walaupun sudah direncanakan dengan matang ingin persalinan tanpa
operasi, tapi kalau Tuhan berkehendak lain, apakah kita harus tetap ngeyel melaksanakan mau kita? Tentu, banyak
pertimbangan yang melatarbelakangi ketika perempuan harus terpaksa menjalani persalinan
tak normal. Dan apakah penting buat kita, -seandainya itu terjadi pada kita,
menceritakan pada semua orang tentang kesulitan yang kita hadapi sehingga harus
melakukan caesar? Lantas, ketika terpaksa sudah menjalaninya, bukan berarti perempuan tak pantas mendapat sebutan Ibu,
bukan?
Kejadian
berlanjut ketika ternyata si baby lebih
mengenal susu formula, lantaran ASI si Bunda
tetap tidak bisa keluar, walaupun sudah dicoba dengan berbagai cara. Kembali
penilaian sepihak, gunjingan dan komentar-komentar barupun bermunculan lagi. Betapa melelahkannya kalau
kita layani dan tanggapi satu persatu
omongan-omongan itu?
Padahal
ingat: “ There are 1.000 ways to be a good mother.
Breastfeeding is one, if you failed on this, there are still 999 ways. Go grab
the other ways to be the best mother for your baby.” (halaman 22).
Lewat
buku ini juga tersuarakan bahwa walaupun tidak sempurna, perempuan tetap bisa merasakan
kebahagiaan. Resepnya, tak perlu pusing memikirkan penilaian orang lain
terhadap diri kita. Jadikan diri kita -dalam melangkah, menyikapi sesuatu, dan
menjalani kehidupan kita- seperti mau kita. Terkesan egois memang. Alasannya,
karena diri kita milik kita sendiri. Oleh sebab itu, kita paham mana yang
cocok, pantas dan sesuai buat kita. Jangan memaksa mengubah diri untuk menjadi
sempurna demi memenuhi dan menuruti standart dan kriteria sempurna versi orang yang mengomentari kita.
Mendengarkan
masukan, komentar, atau nasehat orang,
sah-sah saja. Tapi tidak lantas kita melaksanakan total seperti yang
mereka kemukakan. Pilih yang sesuai, menerima yang masuk akal dan tidak perlu
kita menjalaninya menurut kacamata mereka.
Apa
yang terjadi pada orang lain, itu sepenuhnya pilihan yang telah mereka pilih,
dengan segala paket kelebihan dan keuntungan yang bakal mereka tanggung sendiri.
Hormati dan hargai, jangan malah dihakimi.
Disetiap
akhir cerita yang Dian Kristiani tulis, hampir selalu terselip nasehat, ajakan
untuk menghargai orang lain, nilai inspiratif dan pencerahan buat kita untuk
menyikapi semua permasalahan yang terjadi. Tidak harus dan patut kita tiru pola
pikir yang dijabarkan. Karena yang sesuai dengan penulis, belum tentu cocok
diterapkan pada kita. Tanpa bermaksud menggurui, tidak harus juga dituruti.
Tapi, banyak hal yang dijabarkan mendekati skala realitas yang ada. Dalam
melihat segala permasalahan, hendaknya dilihat dari dua sudut pandang yang
berbeda. Terkadang, di akhir cerita selalu ada renungan buat kita yang membaca.
Membuka mata dan hati kita untuk lebih bersikap bijaksana.
Buku
yang cetakan pertamanya dipasarkan tepat sehari setelah peringatan Hari Kartini
ini, secara tak langsung diakui, Dian Kristiani ingin mengajak perempuan untuk berdamai
dengan diri sendiri dan sesama perempuan lainnya.