Buatku, semua yang berasa dan
beraroma jahe, gak ada yang asyik dan gak perlu buat dinikmati. Walopun telah ada
varian camilan yang mengandung jahe, kayak permen jahe, obat batuk jahe, kue
kering serpihan jahe, obat nyamuk spray aroma jahe dan bermacam minuman
tradisional macam ronde, angsle dan seterusnya, gak membuatku goyah untuk mendoyaninya (apppah sih, ini?).
Di Surabaya, jaman aku masih sering
tidur, mandi, dan menghabiskan seharian disana setiap hari, ada makanan (atau
kategori minuman, yak?) namanya tauwa. Lagi-lagi beraroma jahe. Dari beberapa
penikmatnya, yang menggilai tauwa ini bilang: tauwa berasal dari kedelai yang
pembuatannya mirip tahu lalu disiram oleh kuah jahe yang rasanya pedes manis.
Dan, aku yang gak suka rasa jahe (apalagi manis), walopun dibilang seuwenak
apapun juga oleh oom Bondan sekalipun, aku teteup respon: huek!
Tapi, dengan berjalannya waktu,
perasaan seseorang akan sesuatu bisa jadi berubah karena beberapa buah hal. Si Ardina
Rasti yang dulu selalu terlihat mesra dengan Eza Gionino, sekarang malah
melaporkan pacarnya itu ke polisi (korban insert pagi, ih!). Atau yang dulunya
buenci begitu rupa, sekarang malah jatuh cintrong secara membabibuta. Akupun yang dulu huek dengan si jahe, sekarang malah
selalu mencari-carinya. Tanpa kehadirannya semalam saja, hidupku rasanya kurang
lengkap. Makan gak nafsu, tidur gak nyenyak. Hidup serasa hampa. Ah!
Kenyataan berubah 360 derajat itu terjadi karena aku sering menderita
bengek! Yah bengek membuat segalanya berbalik. Paradigma tentang jahe luntur lalu bergeser jauh.
Aku sadari bersinku ini alergi, dan
aku tau banget alergi gak akan bisa disembuhin. Yang bisa dilakukan untuk
meminimalkan kemunculan alergi ini jalan satu-satunya adalah menghindari
pemicunya. Tapi sebagai makhluk hidup yang tinggal di alam bebas (berasa bodat?),
tentulah gak mudah buat menghindari pemicu yang ada. Aku tetap mencium aroma rokok
setiap waktu. Walopun gak sering, tetanggaku setiap hampir akhir pekan membakar
sampah di halaman belakang rumahnya. Sialnya, kamarku tepat berbatasan dengan
tanah kosong tersebut. Biar jendela telah tertutup rapat, yang namanya asap
pasti nyolong nerobos lewat celah-celah yang ada. Mau ngamuk, jelas gak
mungkin. Khawatir aja dia bilang,”Lo mau apa? Yang gue bakar, sampah-sampah gue
sendiri. Tempat barbequepun halaman-halaman gue sendiri!”
Nah, aku gak bisa bertengkar model
begini, kurang elegan…
“Minumin obat aja…” beberapa teman
mengusulkan alternatif.
Oh, no! Demi menjaga tubuh supaya gak
terlalu nyimpan banyak racun akibat efek dari pemakaian obat, aku browsing
mencari tanaman herba. Lewat om google aku ketikin kata kunci: herba untuk
menghilangkan bersin-bersin.
Cling!!
Dalam hitungan detik, si om langsung
ngasih bocoran info sampe beberapa halaman. Beruntung aku hidup sudah di era
internet. Lewat internet, kita bisa nyari apapun juga. Lengkap,
selengkap-lengkapnya. Asal ada koneksi, pulsa lagi seksi, sinyal baik hati, yang mustahil berubah jadi
mustahal.
Setelah itu, hatiku jadi terbuka, mataku
lupa ngantuk. Aku jadi teramat mencintai jahe. Aku takut kehilangan dia. Kini aku
dan jahe hidup seia sekata. Tiap malam, pasti aku gak pernah absent negak jahe panas
tawar. Kalo orang Bandung biasa teh panas tawar, aku gak mau ketinggalan.
Mulanya aneh. Tapi seiring dengan perjalanan waktu, bagaikan pepatah jawa,
trisno jalaran soko kulino, rasa senengku pada jahe semula kepaksa sekarang jadi biasa.
Temank-temanku pada anjurin
memcampurinya dengan gula. Tapi aku jelas-jelas menolaknya. Satu-satunya
minuman yang aku masukin gula hanya kopi.
Karena sudah terbiasa dengan aroma
bau-bauan jahe, aku mulai ngikut gaya hidup beberapa teman yang doyan banget
nongkrong tengah malam di warung remang-remang lesehan ronde dan angsle!
Memang gak keren sih. Anak sekolahan yang duit saku ngandelen ortu
aja tongkrongannya Starbucks dan Exelso, nah aku cukup bersyukur dengan warung
pinggir jalannya mang Jo!
Sutralah gapapa, yang penting
bengekku sirna dan telah kutemukan gaya hidup murah meriah jauh dari bahaya…;)