BUNDA YANG PERKASA
Bunda, saat pagi buta
Kau telah bergerak diantara pematang sawah
Dipunggungmu terletak seonggok besar barang
Dagangan.
Bunda, terkadang kulihat
Baju tuamu terkoyak
Punggungmu terlihat hitam menebal
Ingin kutambal koyakan itu
Dengan sebidang rumput halus
Yang kuambil dari halaman si Tuan kaya.
Bunda, sering kularang kau kerja
Enakan duduk-duduk santai
Seperti oma-opa si Tuan kaya
Yang menikmati hari tua dengan tenang.
Bunda,
Tapi apa katamu?
: Hidup adalah perjuangan,
Jangan hidup kalau tak mau
Berjuang.
PERAMPASAN
Aku tersentak kaget
Saat kau melangkah pergi
Sebab jiwaku ada padamu,
Ada pada tubuhmu
Mana mungkin aku hidup
Tanpa sepotong jiwa.
Kini aku menggigil
Sesak oleh kabut polusi kota
Yang makin menebal
Pekak oleh bising industri dan kendaraan
Silau oleh mercuri jalan
Atau buta dekat lorong-lorong
Rumah keabadian.
Kembalikan jiwa itu kepadaku!
Atau aku harus dendam padamu?
Sepanjang waktu
Terus sampai keturunanmu?
SUNGAI KITA
Sungai kita yaitu bianglala
Tempat dulu menyelam. Memburu
Udang dan ikan sepat buat makan malam
Sambil debatkan budidaya dan kelestariannya
Sungai kita adalah benteng hidup
Yang indah. Dikelilingi taman bunga
Nan harum
Hingga kita terbius slogan kosong
Anti pencemaran
Lalu terbui diatas ranjang
Sambil dengarkan kisah
Tentang hijau dan keserasian surga
Sekarang,
Sungai kita mungkin cermin kusam
Yang memantulkan realita
Bahwa kita jorok. Kita sering
Menuangkan limbah ke permukaan
Atau membabat taman bunga
Hingga udang dan ikan sepat
Sesak nafas
Lalu bau bangkai menyebar
Kini kita rindu menyelam
Memburu udang dan ikan sepat
Buat hiburan
Tapi lingkar noda yang kita dapat
Lalu menjerat nekat
Sungai kita adalah neraka
Tempat udang dan ikan sepat
Tergencet sudah
No comments:
Post a Comment